Perubahan Polah Makan Di Dapur Mama- mama Papua di Kampung waijan dan Polah Pengolahan Sagu di kampung Malawor - Menulis Kebenaran

Breaking

Kamis, 25 April 2019

Perubahan Polah Makan Di Dapur Mama- mama Papua di Kampung waijan dan Polah Pengolahan Sagu di kampung Malawor


Oleh: Wilzson Mobalen

Kampung waijan

Asal mulah nama kampung waijan adalah dari nama sebuah kali yang berada di lokasi tersebut. Sejak tahun 1984 penduduk kampung waijan mulai dipenuhi oleh penduduk transmigrasi. Dengan jumblah penduduk pada waktu itu 200 kk, yang terdiri dari penduduk lokal 50 kk, dan penduduk transmigrasi 150 kk, dengan mata pencarian penduduk waijan adalah mayoritas sebagai petani sagu dan petani sawah.

Kampung waijan merupakan salah satu kampung di Distrik Salawati tengah Kabupaten Raja – Ampat, Provinsi Papua Barat, dan luas kampung waijan 2450 Ha. Status kampung waijan adalah sebagai kampung pemekaran dari kampung kalobo yang masyarkatnya adalah sebagian besar adalah masyarkat  waijan yang dimekarkan dan dulu masyarakat waijan terdiri dari masyarakat adat dan masyarkat transmigrasi pada tahun 1984, dan pada saat itu kampung waijan dulunya masi bergabung dengan kampung kalobo dan kampung waijan sendiri masi masuk kabupaten Sorong, setelah masuk kabupaten Raja-Ampat pada tahun 1987 barulah dibentuk suatu pemerintahan kampung waijan.

Hubungan Pribumi dengan Dusun Sagu

Di kampung waijan, kehidupan masyarakt pribumi dikampung masi memiliki hubungan dengan dusun sagu di mana dususn sagu merupakan makanan pokok dijaman dulu bagi leluhur suku fiawat hinga saat ini sebelum  mereka mengenal makanan yang kerap disebut Padi atau beras, atau padi di kampung waijan. Namun semenjak Tahun 70 sampe 80  masukny transmigrasi dikampung waijan tingal dan berbaur dengan kehidupan masyarakt setempat secara langsung saling memperkenalkan diri,budaya,bahasa,cara hidup dan sistim pertanian.

Dan padah tahun 2000 pada saat itu masyarakat pribumi juga sudah bisa menanam padi dan memiliki sawah sendirih. Dan mungkin pada saat itu masyarakat mulai ikut menanam,memanen mengolahnya menjadi makanan sehinga masyarkat adat Fiyawat mulai terbiasa makan nasi menjadi andalan menuh utama dalam keluarga, dan posisi sagupun digantikan dengan beras. 

Tapijuga kenyatan dilapangan bahwa mereka memang erat masi memiliki hubungan dengan wilayah dan dusun sagu. Namun mengenai polah makan sudah mulai mengalami perubahan pola makan dimana suda sangat jarang mereka mengolah sagu menjadi makanan sehari-hari mereka.

Itu jelas terlihat dari beberapa Opserfasi dilapangan diman hampir sebagian besar masyarkat didapur mereka tidak terlihat patih sagu, yang hanya terlihat tumpukan karung-karung bersa. Dan juga dimeja makan tidak terlihat saguh yang di olah menjadi makanan utama, sebaliknya adalah nasih. Selamah ber kunjungan dikampung waijan dan mengianap di rumah warga selama kurang lebih beberapa hari disana. 

Dari pengamatan  hidup bersama salasatu keluarga, perubahan polah makan dan selerah makan dari sagu keberas itu sudah terjadi beberapa tahun lalu, kenapa demikian karena hampir disetiap rumah yang di kunjungi mulai pagi, siang dan malam tidak pernah di berikan sagu sebagai makanan pokok untuk  dapat dimakan. Namun yang sering di berikan pagi , Kue dan sejenisnya ,makan siang nasi sebagai makanan menu utama dan malam nasipun menjadi menu santapan malam.

Bulan desember 2017 dikampung waijan, dimana suasanah hariraya natal bagi umat Kristen dikampung-kampung dan salah satu kampung yang menjadi tempat kunjungan adalah kampung waijan. Tepat jam 10 pagi  berkunjung ke rumah salah satu warga di kampung waijan, berkunjung dan disambut baik oleh bapak keluarga. Dan pada kesempatan itu ditawarkan oleh keluarga, untuk minum Teh dan ditawarkan makan pisang rebus. Tidak tungu lamah langsung meneriam tawaran tersebut, dan suasanah pun menjadi suasana menikmati berkat yang di sediakan keluarga.

Sambil menikmat hidangan sarapan pagi, dan saya pun langsung bercerita seputara situasi dapur dipagi hari, Namun pada saat itu “ibu” tidak meresponi ibuh lebih memili di dapur untuk mengurus makan siang keluarga. 

Terpaksa  kesempatan bertanya di alihkan kepada bapak, tentang situasi perubahan di dapur pagi hari beliaupun menjawap “ semenjak tahun 2000” masyarakat dikampung waijan mulai mengenal padi semenjak itulah mereka cenderung lebih kerap mengonsumsih beras dari padah sagu, ditambah anak-anak  sekarang yang suda tidak terbiasa mengonsumsi sagu maunya makan beras ujar bapak dan istrinya pun menambah suara dari dapur iya benar apa yang dikatakan. 

Tapi juga keterangan dari seorang “ibu” di kampung samate,  kami sudah jarang mengonsumsih sagu lebih sering memakan nasi dan sagu biasanya kalo kami senang barulah kami memakanya tapi tidak setiap hari.

Ada juga keterangan dari “Bpk, Nason Parajal”, semenjak tahun 2000 masyarkat loka lebih mengenal beras dikarenakan masing-masing keluarga memiliki ladang padih yang akan di olah dan ditanami padi. Dan pada saat itu masyarakat dikampung ,,Weilabuh,, mulai akrap denga beras tanam.

Selain keterangan dari beberapa orang, dari pengamatan dan hidup bersama dari beberapa tampat ternyata sama. Bahwa turunya konsumsi sagu dikalangan masyarakat papua itu bukan sesuatu hal yang beropini dan asumsi tapi memang hal yang terjadi diakibatkan banyaknya lahan-lahan baru yang akan dan yang sudah dikonversikan menjadi ladang padi dan stok bulok yang memanjakan masyarkat sehinga masyarkat suda sangat jarang mengonsumsi sagu lagi. Ada beberapa tapi cuman sekedar tidak menjadikan sagu sebagai makanan lokal mereka, justru beras atau padi memiliki posisi teratas didapur merekah.

Namun hampir sebagian besar masyarakat pribumi dikampung, waijan dan beberapa kampung sekitar masi memiliki dusun dan masing-masing marga juga memiliki dusun sagu yang begitu sangat lebat dan luas, tapi juga aktifitas mereka masi di lingkungan dusun sagu setiap saat. 

Tapijuga pengetahuan mereka tentang pengolahan sagu menjadi makanan masi dimiliki warga setempat dan pengetahuan memanfaatkan pohon sagu mulai dari, daun, bua, pelepah sagu, kulit sagu dan hampas pati ela sagu masi terjaga hinga generasi hari ini. Dan hampir disepanjang jalan kampung waijan masi terliat pepohonan sagu yang tumbuh di hamparan jalan dan masi terrawat hinga saat ini.

Tapijuga pengelolaan  sagu  secara  tradisional masi dimiliki pleh warga kampung waijan karene biasanya mereka untuk mengelolah sagu yang,  terutama  yang  di  lakukan  adalah pemilihan  pohon  sagu  yang mau  di  tebang  maksimal  usia  sagu  yang  mau  ditebang  umur  8-16  tahun  dengan  ciri- ciri  daun  bagian  pucuk  mulai  mengecil,  duri  pada  pelepa  daun  sudah  hilang,  keluarnya  serangkaian  bunga  pada  bagian  pucuknya  dan  adanya  buah  seperti  buah  salak  hal  ini  dilakukan  masyarakat  untuk  menjaga  keseimbangan alam  sehingga  alam  tidak  rusak  dan  sagu  pun tidak  punah. 

Setelah  melakukan pemilihan  pohon  yang  dianggap  sudah  dewasa  ditebang  kemudian  tahapan-tahapan  yang dilakukan  yaitu,  pembersihan  duri-duri  sagu  dan  dikupas  bagian  luar  dan dibelah  menjadi  dua  bagian  kemudian  pati  sagu  di  hancurkan  dengan  alat yang  disebut  lemek  atau  alat  untuk  menokok. Pelepah  sagu  di  manfaatkan  sebagai  tempat  ramas  atau  pelepah  sebagai  tempat  untuk  mengalirkan  air  sagu  yang  akan  diramas  biasanya  masyarakat  menggunakan  air  rawa  dan  sungai   untuk  meramas  sagu.  

Untuk  memisahkan  pati  sagu  agar  tidak  bercampur  baur  dengan  hasil  yang  akan  diperoleh  masyarakat  menggunakan  kelambu  atau kain  untuk  memeras  air  sagu  sehingga  hasil  yang  akan diperoleh  maksimal. Padasat suda mendapatkan hasil tepung sagu, mereka juga suda mempersiapkan temapt atau wadah yang akan digunakan sebagai tempat mengeringkan sagu, yang biasanya disebut, sagu tuman yang artinya tepung sagu yang di bungkus dalam daun sagu anyaman.

Pada proses itu, kurang lebih tinggi sagu tumang mencapai 1cm, tinginya, Dan sagupun siap dipasarkan di kampung tapijuga masyarkat sering menjualnya ke kota sorong. Kisaran harga 1 tumangn sagu dikampung mencapai Rp 20.000 ( duapuluh ribu), tapi juga bagi masyarakat yang memiliki modal lebih akan menjualnya di kota sorong dengan kisaran harga , Rp 45. (empat pukuh lima ribu) per satu tumang. Untuk di kampung waijan.

Mata Pencarian.

Mayoritas matapencarian penduduk adalah petani , sawah dan saguh hal ini disebapkan karena sudah turun temurun sejak duluh masyarakat lokal mengolah sagu dan masyarkat trans menanam padi dan masing-masing menerapkan sitem tradisional persawahan, pengolahan saguh dan sistem pertanian berpindah,dan juga minimnya tingkat pendidikan sehinga menyebapkan masyarkat tidak punya kehalian lain sehinga tidak punya pilihan lain selain bercocok tanam dan memproduksi sagu.

Selai sebagai petani masyarkat kampung waijan juga melakukan aktifitasnya sebagai peternak sebagai pekerjaan tambahan tetapi hasilnya juga belum bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tapijuga jumblah tenaga kerja lebih banyak dari jumblah kk disebapkan karena profesi masyarkat selain PNS, potensi Sda, yang ada dikampung waijan mengharuskan setiap anggota keluarga ikut terlibat dalam mengelolah sumberdaya alamnya. 

Keadaan masyarakat waijan.

Sebagian besar masyarakt kampung waijan bermata pencarian sebagai petani / persawahan, Tokok Sagu dan peternak. Potensi unggulan dari kampung waijan adalah Padi dan tokok sagu selain itu pada umunya masyarakat kampung waijan hasilnya dikonsumsi sendiri tapijuga ada yang menjualnya ke kota sorong.

Perkembanganya saat meminta keterangan dari Kepala kampung waijan,  dikatakan perkembangan pertanian dan pengolahan sagu tidak bisa berkembang dan menjadi inkam pendapatan masyarakat ini dikarenakan kurangnya ketersediaan sarana produksi dan petugas penyulihan dalam hal ini Pemerintahan kabupaten Raja – ampat dan juga akses transportasi laut yang sulit.


Pola kemandirian masyarkat dan pengolahan sagu yang masi bertahan di Kampung Malawor.

Tapi juga pada tempat yang berbeda di masyarakat kampung Malawor Distrik Makbon Kabupaten Sorong sudah  lama  mengonsumsi sagu dari Hutan alam dan sebagian sagu sudah  di  tanam oleh nenek moyang secara turun-temurun.  Kehidupan sehari- hari masyarakat Malawor sebagai nelayan,  berburu dan petani, biasanya hasil  yang  di  peroleh dari tani yaitu berupa sayur mayur dan ubi-ubian. 

Hasil tersebut di bawa kepasar menggunakan transportasi darat kemudian di jual untuk mendapatkan uang lalu beli beras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.  Ketika beras dan ubi - ubian habis masyarakat mengkonsumsi sagu sebagai pengganti. Sebagian besar masyarakat masih mengelola sagu mengunakan metode tradisional dengan cara menebang sagu mengunakan mencadu kemudian kulit sagu  di  kupas lalu  di  tokok mengunakan penokok sagu  yang  di  buat dari kayu lalu ujung kayu  di  pasang sebuah gelang besi berwarna putih lalu di  ayunkan kepermukaan pati sagu lalu pati sagu menjadi butiran-butiran kecil kemudian diangkat ketempat peremasan sagu peremasan sagu menggunakan pelepah sagu. 

Satu pohon sagu bisa membutuhkan tenaga  2-3  orang bahkan bisa lebih masing mempunyai tugas  yang  berbeda ada  yang menokok, ada  yang  mengangkat pati sagu  yang sudah ditokok,  dan ada  yang  mempunyai tugas meramas sagu waktu yang  di  butuhkan untuk menyelasaikan satu pohon sagu sekitar  4-5  hari tergantung kondisi cuaca.

Kalau kondisi cuaca hujan maka membutuhkan waktu sekitar satu minggu untuk menyelesaikan satu pohon sagu, sedangkan perbandingan pengolahan sagu secara moderen menggunakan mesin pemarut sagu tidak terlalu membutuhkan waktu  yang  lama  dan tidak terlalu membutuhkan tenaga yang  banyak, cukup  1-2 orang  sudah bisa menyelesaikan satu pohon sagu.Sagu memiliki potensi besar sebagai sumber pangan namun belum dimanfaatkan secara maksimal.Kurangnya minat masyarakat untuk mengelolah sagu karena rendahnya kemampuan untuk menghasilkan sagu yang lebih untuk kebutuhan masyarakat lokal.

Masyarakat  kampung  malawor  merupakan  masyarakat  yang  mempunyai  hukum  adat  sejak  turun  temurun  begitu  pula  dengan  penguasan  dan  pemanfaatan  hutan  yang  diwariskan  secara  turun  temurun  dari  nenek  moyang  dahulu  dan  tidak  bisa  di  berikan  ke  tangan  orang  lain  atau  ke marga  lain  begitu  pula  dengan  pemanfaatn  pohon  sagu, masyarakat  mengelola  sagu  secara  turun  temurun  untuk  di  gunakan  sebagai  bahan  pangan  dan di jual  masyarakat  memanfaatkan  sebagian  usaha  ladang,  berburu, menokok  sagu,  dan  memungut  hasil  hutan  kayu  untuk  memenuhi  kebutuhan  social  ekonomi  masyarakat  setempat.

Ada  2  jenis  teknologi  yang  digunakan  oleh masyarakat Kampung Malawor yakni:  1. teknologi  tradisional  (lemek); 2. teknologi alat parut sagu mekanis;  Dari  kedua jenis teknologi yang ada, teknologi mesin parut yang  umumnya  digunakan  masyarakat kampung saat ini walaupun  demikian  teknologi  lemek masih  digunakan  pada  skala  besar. 

Berikut  ini  digambarkan  kedua  jenis  teknologi  dan  peralatan penunjang proses pengolahan sagu tersebut: 

Lemek bambu  bahannya  terbuat  dari bambu dan tali dari bahan rotan

Lemek kayu  bahannya  terdiri  dari  kayu,  besi sebagai pisau dan tali dari bahan rotan. 

Kedua alat ini sama bentuk dan  fungsinya  namun  tegakannya  berbeda.  Pada Lemek kayu posisi pisau pemotongnya  lebih tegak dibandingkan Lemek bambu serta ujung  pisaunya  dilapisi  besi  yang  diasah  tajam.  Sedangkan lemek bambu posisi pisau pemotong agak  melengkung/bungkuk  dan  tidak dilapisi besi tajam. 

Kedua alat ini sama bentuk dan  fungsinya  namun  tegakannya  berbeda.  Pada Lemek kayu posisi pisau pemotongnya  lebih tegak dibandingkan Lemek bambu serta ujung  pisaunya  dilapisi  besi  yang  diasah  tajam.  Sedangkan lemek bambu posisi pisau pemotong agak  melengkung/bungkuk  dan  tidak dilapisi besi tajam.


Alat  tebang/pembelah  pohon  sagu  :  merupakan  alat  tebang  dan  belah  batang  sagu  berupa parang, kapak, dan  kayu bebentuk dodos.  Dengan  alat  pemotong  yang  sederhana  ini  maka  pohon  sagu  ditebang  dan  dibelah  sesuai  ukuran  kemudian  isi  sagu  itu  ditokok  untuk  diproses selanjutnya. 

Alat  peramas/penyaring :  bahannya terdiri dari selaput tipis  dari  pohon  kelapa  seperti  kain  kelambu  berbentuk  segi  tiga, pelepah  sagu  bagian  pangkal dan tali  dari  bahan  rotan.

Alat  penimba  air  (ember)  wadah  ini  bahannya  terbuat  dari  a)  pelepah  sagu  berbentuk  runcing,  b)  tali  rotan  digunakan  untuk  jahit  bagian  tepi  pelepah  sagu,  c)  tali  timba  dari rotan.

Wadah penampung patih sagu (goti):  merupakan  wadah  penampung  patih  dari hasil perasan. Wadah ini biasanya  terbuat  dari    pelepah  sagu (goti).

Dengan  ukuran panjang  dan lebarnya  bervariasi.  Khusus  untuk  wadah  pelepah  sagu  (goti  halua),  ukurannya  kecil  cocok  digunakan  oleh  pengeloh  yang  bekerja  sendiri  tanpa  tenaga  bantuan. Cara  pembuatan  wadah  penampung  adalah  sebagai  berikut  : 

1. kayu  penyanggah  posisi  wadah  agar  tetap  tegak,  dipasang  mengapit  badan  wadah  pada  kedua  sisi  dengan  jarak  sekitar  1  m,  kemudian  diikat  tegang  pada dua buah kayu penyanggah pada  sisi kiri dan kanan wadah dengan tali  dari  kulit  dahan  sagu.

2. bantalan  penyanggah  dari  dahan  sagu  yang  dipotong  pendek  dan  diletakan  dibawah  wadah  penampung.

3. dua  buah  pelepah  sagu  yang  agak  lebar  dipaku  pada  ujung  wadah  berfungsi  untuk  menutup  kedua  ujung  wadah  penampung.

4. ampas sagu (ela) atau  batang.

Pisang  yang  telah  busuk,  berfungsi  untuk  menutup  cela  yang  terbuka, agar patih sagu hasil perasan  tidak keluar dari kedua ujung wadah.
  
Wadah  kemasan  pati  sagu/sagu  mentah  (tumang  sagu):  merupakan  wadah tempat kemas patih sagu yang  telah  diperas. Terbuat  dari  daun  sagu  segar  dan  matang.  Sebuah  wadah  kemasan  dibentuk  dari  12-16  lembar  daun  sagu,  dianyam  bulat  panjang  berbentuk  tabung  setinggi  30-40  cm,  dengan  diameter  18-20  cm.  Bagian  bawah  wadah  di lapisi  dengan  sedikit  ampas  sagu  yang  telah  diperas  (ela).  Berfungsi  untuk  menutup  celah/lubang wadah kemasan sekligus  menjaga kelembaban patih sagu.

Produktivitas  yang  dicapai  dalam seminggu  bisa  mencapai 1-2  pohon  sagu  yang  diolah.  Keseluruhan  proses  pengerjaan  dari  penebangan,  hingga  pengemasan  patih  sagu  ke  wadah,  membutuhkan waktu 14-21 hari dengan 4 orang  tenaga  kerja.   

Modifikasi  dan pengembangan dari alat semi  mekanis  yang menggunakan tenaga mesin. Dari sisi  efisiensi dan efektivitasnya mesin terbukti  lebih unggul dibanding alat tradisional (Lemek).  Produktivitas  yang  dicapai  dalam seminggu  bisa  mencapai 2-3  pohon  sagu  yang  diolah.
  
Keseluruhan  proses  pengerjaan  dari  penebangan,  hingga  pengemasan  patih  sagu  ke  wadah,  membutuhkan waktu 10-12 hari dengan 3  orang  tenaga  kerja.   Penggunaan  alat  pendukung  pengolahan  memiliki sedikit perbedaan yakni pada alat  tebang pohon sagu, disamping menggunakan kapak, mesin pemarut patih, wadah penampung tepung sagu  (goti)  terbuat  dari  terpal  dan  penapisnya  dari kain kelambu sedangkan wadah penimba  air  dari  ember.  Selebihnya dari peralatan yang digunakan  adalah sama. 

Sumberdaya  sagu  merupakan  aset  terbesar  bagi  masyarakatn  sekitar  hutan  sagu,  begitu  pula  Masyaraakat  di Kampung  yang masi memiliki dusun sagu.

Jelas ketika sagu sudah dimanfaatkan oleh masyarkat lokal setempat dengan baik, maka secara tidak langsung sudah menjadi matapencarian yang memiliki nilai ekonomis tingi bagi masyarakat di kampung malawaor dan di beberapa wilayah di kabupaten sorong dan beberapa kabupaten sekitar.

Contoh kampung malawor ini menjadi salasatu contoh yang mungkin bisa di contohi oleh kampung-kampung lain yang masi memiliki dusun sagu.