AMAN Sorong Raya mengutuk keras
pengepungan, penyerangan dan stigma terhadap orang Papua yang dikatakan
“MONYET” oleh sekelompok anggota organisasi masyarakat (ormas) dan
aparat negara (polisi dan tentara) terhadap mahasiswa Papua di Surabaya
dan Malang. Kasus ini merupakan yang kesekian kalinya terjadi. Tahun
2016 peristiwa serupa terjadi di Jogja bagi kawan-kawan mahasiwa. Pada
2018 julukan ini juga dituduhkan bagi orang Papua: Saudara Natalis Pigai
dan di 2019 kata monyet itu terjadi kembali bagi orang Papua yang
ironisnya itu terjadi pada saat peringatan 74 tahun Indonesia merdeka.
Secara khusus kami mengutuk anggota TNI
dan Polri yang terlibat sebagai dalang ricuh dan stigma terhadap
mahasiswa Papua. Dan juga tindakan yang dilakukan oleh ormas ini secara
tidak langsung menyalakan api dalam sekam di Papua dan tidak menunjukkan
mereka sebagai orang yang bermartabat dan beragama.
Indonesia sedang menyalakan api dalam
sekam, menyalakan api kemarahan bagi orang Papua. Cepat atau lambat
orang Papua akan memilih bernegara sendiri lepas dari Indonesia. Karena
lebih baik monyet sekolah di rumah manusia daripada manusia cari hidup
di rumah monyet.
Papua diintegrasi (anekesasi) oleh
Indonesia pada 1 Mei 1963. Empat tahun kemudian (1967) wilayah Papua
dijadikan target pertama penanaman modal asing di Indonesia.
Lewat
Undang Undang Penanaman Modal Asing yakni perusahan raksasa PT. Freeport
pada tahun 1967 diizinkan Indonesia mencaplok 2,6 juta hektar yang
menyebabkan rusaknya tatanan masyarakat Papua di Timika. Belum lagi
dengan dibukanya perusahaan minyak dan gas, serta perusahaan sawit
pertama di Sorong tahun 1982 dan Keerom pada tahun 1984, serta mega
proyek MIFEE di Merauke yang telah merusak lebih dari puluhan juta
hektar wilayah masyarakat adat hingga sekarang ini. Dan atas nama
pembangunan, pemerintah menggunakan militer serta berbagai kekuatan
legal Indonesia demi memuluskan pembangunan dan kepentingan ekonomi
nasional serta investasi asing, yang mengakibatkan pelanggaran
kemanusiaan secara masif di Papua hingga sekarang ini.
Setelah berakhirnya orde baru dan
digantikan dengan era reformasi, percepatan pembangunan dilakukan dengan
mengubah pola sentralistik menjadi desentralisasi (UU 22 tahun 1999)
dan diberikan otonomi khusus (Tap MPR IV/1999) sebagai langkah Indonesia
untuk meredam aspirasi merdeka rakyat Papua. Selain itu selama proses
pembangunan (investasi), kaum transmigran terus berdatangan untuk
mencari hidup dan sekaligus menjalankan program pemerataan penduduk dan
didukung oleh sistem negara, sehingga menciptakan diskriminasi antara
orang Papua dan pendatang akibat kepentingan pembangunan negara, yang
terdampak pada terpinggirnya orang Papua di tanahnya sendiri serta
konfilik-konfilik horizontal yang merupakan kegagalan negara dalam
menunjung nilai-nilai hak asasi manusia.
Dan selama berlangsungnya pemerintahan
ala otonomi khusus di Papua, berbagai investasi masuk begitu cepat dan
masif, mulai dari kepentingan pendapatan negara hingga kepentingan
pemodal asing, dan menurut catatan Papua dalam Angka Tahun 2018 serta
Oke Finance bahwa jumlah perusahaan dan industri di Papua telah mencapai
9.053 yang tersebar di seluruh Tanah Papua. Serta Freeport yang
menghasilkan 116 miliar per hari (catatan ahli Geolog pada tahun 2017),
lalu MIFEE dan perusahaan sawit besar di Papua yang telah meraup
keuntungan hingga 200 triliun rupiah (Sawit Watch 2017), dan masih
banyak lagi kepentingan investasi lainnya yang dilancarkan atas nama
pembangunan dan ekonomi nasional Indonesia yang telah menghancurkan
peradaban Orang Asli Papua.
Dan eksistensi investasi tersebut
didukung penuh oleh kekuatan dan kebijakan negara, seperti kata Presiden
Indonesia, Joko Widodo pada 12 Maret 2019: “…bupati, walikota,
gubernur, kalau ada investor yang berkaitan dengan industri apa pun,
tutup mata, beri izin”, dalam Rapat Kordinasi Nasional Investasi,
Tangerang. Pernyataan ini secara resmi melegitimasi apa pun kepentingan
negara dan pemodal demi kemajuan ekonomi dan target pembangunan
Indonesia.
PT. Inti Kebun Sejahtera yang juga anak
perusahaan KLIG beroperasi sejak 2008. Awalnya PT. IKS yang beroperasi
di Salawti sejak 2008, hanya memegang Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah
seluas 4.000 hektar. KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) di Kabupaten Sorong
yang hampir menguasai kawasan di wilayah sub Suku Moi Segin dan
keberadaanya di dalam wilayah masyarakat adat ini berpotensi merampas
wilayah adat Moi. Dan KEK ini untuk siapa?
Kebijakan percepatan perluasan lahan
perkebunan sawit yang mencaplok wilayah adat masih di Kabupaten Sorong
dan proses invansi perluasan pun masih sedang terjadi dan meluas ini
juga berada di dalam wilayah masyarakat Adat Moi. Kebijakan Perhutanan
Sosial dan TORA di wilayah adat yang melecehkan konstitusi; kenapa
demikian dikarenakan kebijakan tersebut bertentangan dengan Undang
Undang 21 tentang Otonomi Khusus Papua atau bagi masyarakat adat Papua,
penyerobotan tanah / wilayah masyarakat adat yang masif untuk investasi,
masuknya transmigrasi non Papua yang tinggi di wilayah adat Moi dan ini
berdampak pada teracamnya pangan lokal mematikan pedagang lokal Papua
atau komunitas adat yang sedang berkembang di wilayah adat.
Karena itu, AMAN Sorong Raya mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan sebagai berikut:
- Kapolda Papua dan Papua Barat segera memastikan rasa aman bagi rakyat Papua di mana pun berada di Papua dan Papua Barat.
- Gubernur Surabaya segera bertanggung jawab dengan situasi yang terjadi terhadap mahasiwa Papua dan Kapolri menindak tegas aparat negara dan ormas yang terlibat dalam aksi-aksi kekerasan terhadap 43 mahasiswa asal Papua di Surabaya.
- Negara harus serius untuk penyelesaian kasus rasis yang terjadi bagi orang Papua.
- Tarik semua pasukan TNI dan Polri yang bertumpukan dan juga baru berdatangan di Papua.
- Presiden Jokowi segera memberikan jaminan bagi rakyat Papua; rasis tidak akan ada lagi bagi orang Papua.
Kekerasan dan stigma monyet terhadap
orang Papua sangat merendahkan harkat dan martabat orang Papua dan
berpotensi konflik berkepanjangn bagi orang Papua dan non Papua. Oleh
karena itu, AMAN Sorong Raya mengutuk tegas.
Sorong 20 Agustus 2019
Fecki Mobalen
Ketua BPH AMAN Sorong Raya