Kami Bisa Hidup Tanpa Sawit, Tapi Kami Tak Bisa Hidup Tanpa Dusun Sagu - Menulis Kebenaran

Breaking

Kamis, 21 Maret 2019

Kami Bisa Hidup Tanpa Sawit, Tapi Kami Tak Bisa Hidup Tanpa Dusun Sagu

jumat/22/03/2019



Oleh: Wilzson Mobalen
“Hutan dirusak, sagu dihancurkan demi penanaman seribu hektar kelapa sawit. Hati teriris, sedih, dan marah ketika melihat hal itu telah, sedang, dan akan terjadi di atas negeri leluhur kami.”
Barangkali itulah yang dirasakan kebanyakan orang Papua, terutama Suku Moi di wilayah kepala burung (Sorong), yang sangat dekat dengan dusun sagu mereka.
Mengapa dikatakan demikian? Dasarnya adalah filosofi mereka; “Hutan dan dusun sagu adalah ibu bagi mereka”.
Dusun sagu memberikan semua yang suku Moi butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Satu pohon sagu, ketika diolah dapat memberi tepung sagu yang akan mencukupi kehidupan sehari-hari bagi suku Moi. Dan banyak manfaat lain yang didapat dari dusun sagu.
Pohon sagu juga dapat menghasilkan makanan berupa; ulat sagu yang kaya akan protein dan ujung sagunya dapat dimakan, sangat bergizi dan alami. Apabila sudah membusuk, akan ditumbuhi jamur sagu yang kaya akan vitamin dan protein, juga bebas dari zat kimia.
Selain itu, ketika sudah membusuk dan kering akan menjadi pupuk kompos dan memiliki buah yang bisa dikonsumsi. Daun sagu juga sangat berguna. Ketika dijahit, daun sagu digunakan sebagai atap rumah dan bisa dijual sebagai salah satu penopang ekonomi masyarakat suku Moi. Ujung daun sagu juga dijadikan busana berupa rok, atau yang dikenal engan kain rumput. Juga kulit dari pelepah atau dahan sagu dikupas, dibersihkan atau dihaluskan, dijemur dan dijadikan bahan anyaman yang kerap dikenal olah masyarkat pada umumnya anyaman senat, kulit pelepah sagu yang dianyam.
Ini berfungsi sebagai penggati tikar tidur dan lain lain.
Pelepah sagu digunakan sebagai tempat pengolahan sagu dan apabila kering, dijadikan sebagai alat untuk palu air atau menguras air. Juga, kulit sagu atau gagar sagu sangat berguna sekali.
Gagar sagu dapat digunakan sebagai alas lantai rumah dan dapat dijadikan sebagai karya seni lain tergantung dari minat dan kreatifitas si perajin.
Pohon sagu sangat multifungsi bagi suku Moi. Suku Moi akan melindungi hutan dusun sagu dan budaya agar tetap ada dan menghijau dalam proses hidup.
Masyarakat Tanam Sagu, Tanah Tetap Basah. Ketika masyarakat adat suku Moi menanam sagu, tanah tetap basah dan terhindar dari kebakaran, karna masyarakat melakukan (kegiatan) proses penanaman sagu tidak menggunakan sistem monokultur.
Penanaman ini menggunakan metode-metode sederhana yang sangat ramah lingkungan juga membiarkan tumbuhan atau tanaman lain tumbuh dengan bebas.
Berikut metode-metode tesebut: tidak menebang semua tumbuhan yang berada di lahan yang akan ditanami sagu, tidak meratakan lahan yang akan ditanami sagu, tidak menutup dan menghambat saluran air yang mengalir di lahan yang akan ditanami sagu, membiarkan tanaman lain tumbuh dengan bebas bersama dengan tanaman sagu yang ditanam, tidak merusak ekosistem yang ada di lahan tempat masyarakat menanam sagu, tidak menggunakan zat kimia, dan bebas dari pencemaran lingkungan.
Perusahaan Tanam Sagu Beroperasi: Tanah Kering dan Mudah Terbakar
Dampak yang nyata penanaman oleh perusahaan adalah tanah menjadi kering, ekosistem terganggu, dan mudah mengalami kebakaran. Sistem yang digunakan perusahaan dalam membuka lahan dengan sistem monokultur.
Hal-hal demikian diuraikan pada kalimat berikut.
Penerapan sistem ini, yakni: hutan ditebang hingga gundul, tanah diratakan, tanah kering dan sangat berpengaruh kepada keseimbangan ekosistem, pelepasan karbon yang sangat banyak dari hutan dan tanah tanpa memperhatikan dampaknya, lebih cenderung (mudah) terjadi kebakaran hutan dan dusun sagu, menggunakan zat kimia sebagai perangsang pertumbuhan, lingkungan tercemari dan cenderung berdampak pada keseimbangan ekosistem dan manusia yang mendiami wilayah suku Moi, ujungnya menghabiskan hutan, flora dan fauna, serta mengurangi sumber-sumber mata air.
Pemerintah Daerah Sorong Raya harus memahami filosofi dasar suku Moi: “Dusun dan hutan merupakan mama bagi kehidupan mereka”.
Suara hati mengungkap; “Hai kaum penguasa, sadarlah terhadap manusia lain. Hargai dan hormatilah tatanan hidup suku Moi yang bergantung kepada dusun dan hutan mereka.
Hanya satu kata yang terucap, jaga dan lawan mereka yang ingin merusak dusun dan hutan masyarakat adat suku Moi. Semoga!
Catatan refleksi:
1. Banyak dusun sagu yang dihancurkan digantikan dengan dusun SAWIT dan DUSUSN SAWAH.
2. Telah terjadi perubahan pola makan di dapur Mama-mama Papua dari sagu ke beras atau yang dikenal dengan beras raskin.
3. Generasi muda hari ini hanya sebagian kecil yang tertarik untuk menjaga dan merawat dusun sagu.

Penulis adalah Ketua AMAN Se-Sorong Raya.