Ujung Tanjung Samate Menjadi Langganan “Rendaman Air Garam” Saat Air Pasang Besar dan Bulan Purnama
23/03/2019
Di belakang kampung tersebut terdapat satu kali yang kerap disebut kali “Wei wat“ yang ditumbuhi pepohonan bakau yang sangat lebat mengikiti panjangnya kali tersebut.
Alamnya indah tapi sayang, rumah-rumah di sepanjang Kali Wei wat selalu terendam air garam ketika air pasang besar ( air naik ). Rumah-rumah yang dimaksud adalah rumah Keluarga Bapak Kabori Mayalibit, Keluarga Bapak Mesak Mobalen, Keluarga Bapak Y. Klagilit, Keluarga Bapak Y. Moicu dan Keluarga Bapak Awom.
Kampung Samate jarang terendam air garam, bahkan tidak pernah terendam saat air pasang besar, tapi bencana ini terjadi semenjak tahun 2007 keatas walau ada program kampung untuk pembangunan tembok di depan dan belakang kampung dilakukan.
Pembangunan tembok di Kampung Samate ini, menurut beberapa pihak sangat baik, apabila pembangunan ini diselesaikan merata, dalam konteks menyambung dari ujung kampung sampai ke ujung kampung. Begitupula di belakang kampung, hinga tidak menimbulkan masalah baru bagi masyarakat sekitar yang tinggal di sekitar wilayah yang tidak ada tembok.
Contohnya, beberapa keluarga yang disebutkan diatas, rumah mereka selalu dibanjiri air besar. Tak hanya itu saja, selain mereka harus bertahan dengan air yang sudah tidak tawar lagi (air payau ), tanaman yang ditanam seperti tanaman di pekarangan rumah harus mati akibat terendam air asing dan kini masyarakat pun kesulitan dalam mengakses air bersih. Mereka sangat sulit, bahkan sudah tidak bisa bercocok tanam dengan tanaman yang cocok dengan air bersih.
Menurut keterangan Bapak Pendeta Markus Klagilit selaku warga Kampung Samate, dirinya menyesalkan kinerja pemerintah, baik pemerintahan kampung, distrik maupun kabupaten yang tak maksimal mencegah kiriman luapan air garam di kampungnya dan juga karena tidak ada bantuan dari pemerintah untuk korban luapan air garam tersebut.
“Dari tempat ini saya mau sampekan untuk pemerintahan, baik kabupaten bahkan pula kampung bahwa, di sore ini selaku warga, saya sangat menyesal terhadap pemerintahan kampung dan distrik, bahkan kabupaten Raja Ampat, sepertinya tidak ada perhatian,” ungkap Pendeta Klagilit.
Lanjutnya, contohnya saya sekarang sedang dilandah dengan abroasi air laut, saat ini dan air sudah masuk kedalam rumah saya, dapur dan sekeliling rumah saya terendam air asin.
“Saya sangat menderita dalam arti kenapa sampe harus saya seperti ini, memangnya saya sudah tidak diperhatikan kah oleh pemerintah. Maka dari tempat ini saya minta, kalo bisa pemerintah tolonglah perhatikan apakah ada solusi atau tempat lain selain tempat ini untuk saya bisa tinggal bersama keluarga nyaman atau tidak terendam air garam yang meluap kedaratan,” katanya berharap.
Sementara itu, Ibu Sarah Mobalen mengatakan, dirinya sudah melaporkan bencana tersebut ke RT.
“Kami sudah membritahukan persoalan ini kepada Bapak RT yang sekarang ini, bahkan kami pun menjemputnya di rumah untuk melihat kejadian langsung di lapangan dan bahkan bapak RT sudah mendokumentasikannya, tapi sampe saat ini tidak ada realisasi atau tindakan yang kami lihat secara nyata “ ujar Ibu Mobalen.
Lanjutnya, “Semenjak saya berliburan ke Kampung Samate dan berkumpul bersama keluarga, tepat pukul 6:30 kurang kejadian itupun saya alami bersam keluarga besar, secara langsung saya menyaksikanya dan mengalaminya.”
“Pemerintahan distrik dan kampung tidak bertangung jawab dengan persoalan yang terjadi ini, apakah ini suatu proses pembiaran atau sengaja dibiarkan oleh pemerintahan kampung dan distrik,” katanya tegas.
Didalam konvenan Ekosop, katanya, bahwa negara wajib bertangung jawab dengan persoalan yang terjadi ditambah dengan Agaran dana desa yang lagi marak-maraknya di teri setiap kampung, saya berpikir itu sangat cukup untuk membangun atau menyelesaikan pekerjaan sisa pembangunan tembok.
Maka itu, kami rekommendasikan bahwa, pemerintahan Distrik Salawati Utara dan Kepala Kampung Samate segera bertanggung jawab karena kalian ada untuk masyarakat kampung.