Oleh: Wilzson Mobalen
Generasi “Nduga” tidak boleh putus dalam pendidikan. Dalam situasi apapun kami akan memperjuangkan pendidikan di Nduga.
TATAPAN mata pemuda itu melayang. Seolah duka negri Papua tidak pernah akan sembuh. Pemukulan, penangkapan, penyisiran, pengungsian, pengabaian hak-hak dasar dan pembunuhan merupakan drama tragis di Nduga, Papua.
Pemuda itu, Nelo, seorang sukarelawan di Nduga. Ia dengan wajah marah bercerita, aktivitas pendampingan yang ia lakukan di posko relawan dalam tekanan. "Di 12 distrik banyak aparat keamanan yang berkeliaran siang dan malam, mulai sejak konflik hingga saat ini," kata dia.
Aparat keamanan, ujarnya, tidak suka dengan para relawan. "Pasalnya, kami membuat sekolah darurat di halaman gereja," ujar Nelo. Sementara aparat keamanan mau para siswa dan siswi dititipkan di sekolah - sekolah terdekat atau di asrama Danramil setempat.
Menjadi relawan di Nduga, kata Nelo, berbeda dengan wilayah bencana lainya. Nduga, ujarnya, sudah menjadi daerah operasi militer. Di Nduga juga banyak peristiwa penting yang membekas di hati masyarakat Nduga, mulai dari sejak tahun 1963, tahun 1969, sampai tahun 2018/2019 ini.
"GENERASI NDUGA TIDAK BOLEH PUTUS DALAM PENDIDIKAN. DALAM SITUASI APAPUN KAMI AKAN MEMPERJUANGKAN PENDIDIKAN NDUGA".
//Seiring banyaknya permasalahan dunia yang sedang tidak merdeka dinilai dari sudut pandang keadilan sebagaimanusia yang sama di hadapan Tuhan.
Menurut Nelo, pihaknya sudah melakukan pendataan tentang pendidikan di Nduga dari awal konflik. "Kalau kesehatan kami baru saja memulainya, setelah pendidikan kami mulai," ujar Nelo.
Pada pendataan awal masuk kelas di Januari awal, ada 200 anak-anak penggungsi yang masuk kelas. Dua minggu berjalan, jumlah anak - anak bertambah hingga 300 siswa sekolah. "Jumlah itu tidak mentok di 300, tapi semakin bertambah hingga terakhir ini mencapai 700 anak sekolah yang berada di posko belajar pengungsi."
Mengutip laporan tim investigasi independen, di sekolah pengungsian di Wamena terdapat 697 siswa di 13 kelas, mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menegah Atas (SMA).
Anak-anak itu berasal dari berbagai sekolah di Nduga. Adapun di Nduga pada saat ini jumlah SD ada 12 sekolah dasar di 12 distrik, SMP ada 5 sekolah dan ada 2 SMA.
Menurut Nelo, siswa sekolah yang sangat banyak di posko pengungsian ini harus bisa belajar di tengah-tengah situasi konflik. "Saya jadi sedih melihat situasi ini. Anak-anak harus bertahan hanya untuk bisa membaca dan menulis, walaupun mereka sedang dalam situasi trauma."
Dalam segala keterbatasan fasilitas di pengungsian, para relawan tetap optimistis untuk membantu anak-anak sekolah."Yang membuat relawan tetap optimistis untuk tetap melakukan pendampingan di sekolah darurat adalah semangat belajar dan antusias anak-anak sekolah menungu kedatangan relawan di posko belajar," kata Nelo.
Mengutip Gustavo Gutiérrez Merino, ujar Nelo, dunia harus merdeka dari tindakan yang menindas sesamanya, mendapatkeadilan sebagai warga negara dan warga dunia dalam pendidikan.
Sekolah darurat yang didirikan para sukarelawan, menurut Nelo, merupakan inisatif dari tim relawan utuk melakukan aktivitas pembelajaran kepada siswa siswi di lokasi penggungsian. “Tidak usah membuang buang waktu. Bukan konflik yang penting, tapi yang penting adalah proses pendidikan itu harus berjalan.” katanya.
Diharapkan, dengan pendidikan yang dapat meningkatkan semua potensi kecerdasan anak-anak bangsa Papua, dan dilandasi dengan pendidikan karakternya, anak-anak Papua di masa depan akan memiliki daya saing yang tinggi untuk hidup damai dan sejahtera, sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia yang semakin maju dan beradab.
Oprasi militer Indonesi ini mengakibatkan kesulitan pendidikan bagi anak usia pendidikan mulai dari SD, SMP dan SMA. Banyak ketimpangan sosial hinga berdampak pada masa depan Papua, Negara indonesi harus bertanggung jawap.
***